Cerpen galau

Dua Ratus Ribu Lebih

            Lelah rasanya. Tiap hari mempraktekkan gerakan ini itu, pergi kesana kesitu, menunggu sekian jam namun tak ada hasil. Ingin rasanya aku keluar dari sana, namun apa daya ? Sudah terlanjur bilang “iya” waktu itu. Menyesal rasanya, ingin aku menangis tiap kali menghadiri pertemuan itu. Tapi, teman-teman . . .
            Hari itu hari pertama perkumpulan digelar. Aku dan anggota lain berkumpul di depan kelas X MIPA 3. Aku lihat satu persatu calon rekan kerjaku, dan emmm, aku saja sudah tidak nyaman dengan penampilan mereka. Mereka nampak garang dan sepertinya bakal susah buat aku untuk bisa beradaptasi dengan mereka. Selain mereka dulu berasal dari sekolah yang sama, gadget juga mempengaruhi kedekatan mereka, nggak seperti aku. Disana Cuma seorang yang dekat dengan aku, Misha namanya. Selain dia orangnya grapyak, dia juga bijaksana, jadi tidak pilih-pilih teman, dan endingnya, dia jadi leader di tim aku.
            Aku sudah mulai negative thinking tentang kegiatan yang aku lakoni ini. Namun, aku suka kegiatan kayak gini. Perasaan ini jadi satu setiap aku kembali mengingat-ingat kenapa aku bisa disini, ikut kegiatan ini, dan akhirnya terpaksa berpartisipasi dalam kegiatan ini. Hepi ! Ini semua karena dia. Dia daftarkan aku ke kegiatan ini. Awalnya, sih aku senang bisa ikut organisasi ini, tapi lambat laun aku mulai membencinya.
            “Setiap latihan harap membayar 17ribu, ya, dik ? Nanti insyaallah uangnya ditukar sama sekolah. Ini bayarnya buat sementara aja, kok. Buat bayar biaya pelatih sembari nunggu uang dari sekolah turun. Nanti latihan pertama hari minggu di aula, ya ? Apa ada yang keberatan ?”
            “Nggak, kok, Mbak.” Jawabku tidak ikhlas.
            Aku pulang dengan hati yang menggerutu. Mengutuk hal yang bernama “membayar” tiap latihan pula, dan ”latihan” apalagi di hari minggu. Membayar, apalagi tiap pertemuan 17ribu, menurutku sudah termasuk uang yang besar. Maklum sajalah, aku ini anak kos yang hemat. Gimana nggak hemat ? bayangkan saja tiap bulan pengeluaran keluarga buat aku sudah mencapai 800ribu! Hari minggu, merupakan hari yang sakral buat anak kos, dan makruh untuk dibuat pergi-pergi, apalagi kalau bukan sama keluarga.
            Latihan pertama, kedua, ketiga sukses. Latihan ke empat, semangatku sudah kendur. Dan hari itu aku memutuskan untuk tidak ikut latihan. Tak ku hiraukan uang latihan yang nantinya akan menunggak, yang penting bisa istirahat dari tekanan batin yang berkepanjangan.
            Berkat ketidakhadiranku pada latihan kali itu, omelan-omelan dari mulut mereka mulai tersebar, dan itu membuat hatiku makin panas. Dan membuatku tidak mengikuti latihan kelima,keenam, dan ketujuh. 51ribu sudah.
            “Dek, kok nggak pernah ikut latihan ?” tanya Mbak Vero padaku.
            “Hehe iya, Mbak. Lha latihannya minggu terus, sih. Aku kan hari minggu dirumah, jadi nggak bisa ikut latihan. Tapi nanti aku usahain nanti bis ngejar kekurangan gerakannya kok, Mbak.” Jelasku.
            “Ya kamu koordinasi sama temen-temen kamu, dong pas mau milih hari apa. Pulang sekolah kan juga bisa, atau pas jam pelajaran tinggal minta dispen aja bisa kok. Tapi ya jangan keseringan.”
            “Iya, Mbak. Nanti biar aku omongin sama temen-temen.”
            Sebenarnya masih ada kesempatan untuk keluar dari grup ini, toh anggotanya juga 11 orang, kan jadi ganjil, susah juga kalau mau buat formasi. Pernah terbesit untuk keluar dari tim, aku sudah sampaikan sama Mbak Vero di satu pertemuan, tapi aku nggak berani bilang terang-terangan sama dia, jadi aku bilang secara implisit. Aku harap ia paham apa yang aku maksud, tapi tidak.
            Hari ini, 16 Februari, hari ulang tahun temanku SMP yang kebetulan juga ngekos denganku, kamarnya tepat di depan pintu kamarku, jadi ya bisa dibilang kita sangat akrab. Surprise party pun digelar. Kebahagiaanku terusik saat aku baca SMS dari salah seorang anggota tim. Memintaku untuk latihan di GOR. Dan dengan langkah yang berat aku berjalan menuju garasi di belakang. Mesin motor sudah menyala, dan mulai berjalan menjauh dari kos.
            Aku sudah sampai di GOR. Sudah nampak sebagian besar dari mereka sudah hadir disana. Tatapannya aneh saat melihatku melintasi mereka. Ingin rasanya aku membentak mereka, geram tangan ini jika tidak melakukannya. Tapi aku tahan amarahku itu, aku tak ingin membuat masalah dengan mereka.
“Hari ini kita bahas kostum sama perlengkapan buat perform aja, ya?” Kata Levi memecah keheningan.
“Jadi kita nggak latihan ?” tanyaku.
“Aku udah capek latihan, nih. Toh kan perform kita tinggal 3 minggu lagi.”
Aku hanya mendesah. Mereka mulai berdebat tentang kostum yang akan dipakai pada saat pentas. Si A minta pakai ini, si B pakai itu, si C. Belum make up yang akan digunakan. Arrgghh ! Aku pusing mendengarkannya. Apalagi ketika mendengar harga-harga yang mereka debatkan. Mulai dari 100  ribu sampai 150 ribu, harga untuk satu setel pakaian, yang akan aku kenakan sekali, saat pentas digelar.
Hari itu didapat keputusan : Tiap anak membayar 150 ribu untuk membeli satu setel pakaian, dan juga tunggakan uang latihan harap segera dibayar. 201 ribu rupiah harus keluar secara otomatis. Uang pesangon dari pamanku terpaksa aku gunakan untuk membayar ini, aku juga menyisihkan uang saku secara besar-besaran agar bisa menutup kekurangan dana sebesar 101 ribu, menjadikanku hemat luar biasa. Aku tidak berani meminta uang pada ayahku. Jika aku meminta padanya, yang ada aku malah mendapat gertakan yang luar biasa.
Uang yang dijanjikan Mbak Vero pun ternyata hoax belaka. Aku kecewa padanya, tapi aku tetap suka padanya, karena dia senior yang baik.
Seminggu kemudian diadakan sparing sekolahku dengan SMA Gadjah Mada, sekolah Adang, teman satu geng dulu waktu SMP. Aku mendapat informasi yang salah dari Mbak Vero, hal ini menjadikanku marahan dengan Adang selama beberapa minggu. Cobaan apa lagi ini ? Sabar. .
Dua hari lagi lomba digelar. Hatiku mulai tak karuan, harusnya aku senang atau sedih ? apa yang harus aku lakukan ? Terus kuperdalam untuk menghafal gerakan. Walaupun tidak mengikuti latihan selama lebih dari 2 pertemuan, namun aku termasuk anggota yang lumayan bagus dalam melakukan gerakan, selain pengalaman mengikuti bidang yang sama waktu SMP, teman se-tim ku juga bukanlah orang yang memiliki basic dance.
Hari H tiba. Setelah make up dan mengenakan kostum, kami mulai berangkat menaiki bus yang disediakan sekolah. Aku mencoba menenangkan diriku sendiri. Aku berharap kalah dalam perlombaan ini. Karena jika tidak, aku harus menggocek kantong lebih dalam lagi untuk sampai ke babak semi final.
Alhamdulillah do’a ku dikabulkan. Betapa bahagianya aku. Kuucap syukur dalam hati. Tak berani aku memancarkan wajah bahagia didepan teman-teman yang murung wajahnya. Perjalanan pulang dimulai pukul 9 malam. Ditengah udara dingin, bus tetap melesat kencang agar kita segera tiba di persinggahan.
Suasana sunyi senyap, redup, dan dingin. Wajah-wajah temanku begitu lesu, tak seperti saat mereka sinis padaku. Jujur, aku lebih suka ekspresi ini ada pada mereka. Sifat jahat apa ini ?

Hari ini, esok dan seterusnya, aku akan bebas dari yang namanya latihan dance, membayar pelatih, kostum, make up, dan sebagainya. Bebas rasanya. Kuceritakan pengalaman ini pada teman-temanku yang lain. Aku harap mereka tidak terjerumus pada hal yang sama kelak di masa depan. Cukup aku saja. 

0 komentar:

Posting Komentar

 

AVKPEAS Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang