Kalung Mama yang
Hilang
“Nanti main di rumahku aja ya ? Ajak juga Rizky, Lia sama Indah. Nanti aku
ajak Pipin juga. Aku tunggu habis pulang sekolah di tenda rahasia.”
“Oke, Bos!” Jawabnya sambil berjalan menjauh.
Tenda rahasia? Disanalah
Putri, Rizky, Lia, Indah, dan Pipin biasa bermain. Sepulang sekolah mereka biasanya
berkumpul di depan tenda itu. Anak-anak kelas empat sekolah dasar itu tetap
rajin bermain tak peduli bagaimanapun cuacanya, karena mereka masih anak-anak,
ya, kan ?
Kenapa rahasia ? mereka menamainya seperti itu karena
tenda itu berada di balik kamar mandi di rumah Putri, tendanya tak nampak bila
dilihat dari jalan depan rumahnya. Bisa dibilang cukup luas dan bersih, walau
hanya beratapkan terpal beralaskan terpal juga.
“ Mau main apa kita ?” Tanya Indah.
“ Gimana kalau kita main model-modelan aja ? Kan seru,
tuh.” Usulku.
“Oke. Kita hompimpah dulu buat nentuin timnya ya ?”
“ Hompimpah alaihum gambreng !” Ujar mereka serentak
“ Horee ! Sama Rizky. Kita jadi juri ya ? ya ya ya ? Iya
? Oke.”
“ Iya deh, aku sama Lia sama Pipin jadi model. Kan kita cantik.
Ya kan ? “ Kata Indah dengan percaya diri.
“ Hoak ! Ya udah tunggu dulu ya? Biar aku ambilkan
perhiasan mamaku. Kalian siapin aja dulu tempatnya.”
Seketika Putri berlari menuju kamar mamanya. Kebetulan
mama dan ayahnya sedang tidak ada di rumah, mereka pergi ke Madiun untuk
mengunjungi familinya disana. Putri tidak bisa ikut karena itu bukan hari
libur, jadi Putri di rumah bersama nenek
dan bibinya.
Dipilihnya beberapa kalung dan gelang milik mamanya. Ia
tak berpikir panjang untuk mengeluarkan barang berharga seperti kalung, gelang
dan cincin itu, bahkan ia ingin menggunakannya bersama teman-temannya, walaupun
itu bukan miliknya.
" Taadah !”
“ Wow, banyak banget perhiasan mama kamu ? Apa nggak dimarahin mama kamu nanti kalo dia tau kita
pakai perhiasannya ?” Tanya Indah.
“Tenang aja, mama aku, kan nggak ada di rumah. Di rumah
Cuma ada aku, adek, nenek, sama bibi doang, jadi nggak usah khawatir.” Jelas
Putri.
“ Ya udah deh kalau gitu. Nih, buruan para model pakai
perhiasannya.”
“Aku mau pakai yang mutiara.” Kata Pipin.
“ Aku yang coklat itu.” Kata Lia.
“Aku mau yang kalung Rocker itu.” Ujar Indah.
Kata-kata ingin kalung ini-itu tak ada yang menghiraukan.
Anak-anak itu langsung menyerbu kalung-kalung itu dan memakainya.
Para model cilik dengan lincah melenggak-lenggok di atas catwalk. Walaupun bukan catwalk asli,
namun pemandangannya tampak seperti audisi supermodel sungguhan ! Imajinasi
anak-anak memang benar-benar . .
“Oke, kamu sudah cukup bagus, cuma tadi pas belok kurang
genit sedikit, tapi keseluruhan sudah bagus, kok.” Kata Putri bagaikan juri di
supermodel sungguhan.
Satu-persatu model cilik melenggok di atas lantai terpal
yang diberi alas selimut merah milik adik Putri, supaya nampak seperti Red
carpet. Disusul juri – juri cilik yang komentarnya luar biasa. Sepertinya
mereka sudah kecanduan menonton acara model di televisi.
“Ah, udahan aja, yuk ? Modelnya juga udah habis.” Gerutu
Lia.
“Hmm, ya udah deh. Perhiasannya di kumpulin dulu ke aku.
Terus kita main salon-salonan gimana ?” kata Putri.
“Setuju !”
Perhiasan mama Putri satu persatu mulai terkumpul.
Dihitungnya perhiasan mamanya dengan teliti. Dan ternyata kurang dua kalung !
“Eh, kalung mutiara mamaku sama yang kayak emas yang dari
Sophie Paris kok nggak ada ya ? Tadi siapa yang pakai?” Tanya Putri dengan
ekspresi agak panik.
“Nggak tau, tuh aku. Udah, yuk main salon-salonan keburu
sore.” Kata Pipin.
Cliing ! Pikiran khawatir tentang kalung mamanya yang
hilang dua buah hilang seketika saat mendengar ajakan dari Pipin.
Dengan wajah gembira diselingi gelak tawa anak-anak itu
bermain tanpa sadar akan waktu. Sudah jam empat sore. Saatnya bagi anak-anak
itu untuk pulang.
“ Wah, udah jam empat, nih. Aku mau pulang dulu, ya ?”
Kata Pipin.
“ Yaah, padahal kan belum selesai. Tapi ya udah, deh.
Besok kita main lagi, ya ?” Jawab Putri sembari melambaikan tangannya pada
Pipin. Pipin berjalan menjauh.
Suasana menjadi hening seketika.
“Tadi kalung kamu gimana ?” Tanya Rizky.
“Oh iya ! Aku lupa ! Nggak tau, nih tadi soalnya aku
nggak liat siapa yang ngambil. Mungkin ketinggalan di mana gitu ? Coba kita
cari ya? Mau bantuin aku nggak ?”
“ Iya lah.”
Anak-anak itu menyusuri setiap tempat yang tadi mereka
kunjungi. Tapi tak ada hasil. Mulai terbesit pikiran dalam benak mereka,
mungkin ada yang sengaja mencurinya ?
“Apa kalian yang ambil ?” Tanya Putri berburuk sangka.
“ Ya nggak mungkin, lah. Tadi kalo nggak salah . . .”
Kata Lia.
“Kalo nggak salah apa ?”
“Pipin tadi memakai kedua kalung yang hilang itu.”
“Apa ?!” Putri terkejut.
“Bagaimana kalau kita datangi saja rumahnya ?” Usul
Indah“ Ya sudah ayo !”
Mereka mulai berangkat keluar dari tenda rahasia menuju
ke jalan di belakang tenda itu. Disusurinya pematang sawah dan parit kecil
untuk bisa tiba di rumah Pipin. Dan akhirnya tinggal tersisa satu tantangan untuk
benar-benar tiba disana, kandang ternak sapi dan kambing yang penuh dengan
kotoran. Dan merekapun berhasil.
“Pipin ada, Bu ?” Tanya Putri.
“Ada, sebentar.” Jawab Ibu Pipin.
Tak lama, Pipin keluar dari kamarnya. Lalu mereka berdua
berdebat masalah kalung mama Putri yang hilang. Setelah beberapa lama, Putri
memilih untuk mengalah dan meninggalkan rumah Pipin dengan perasaan curiga dan
dengan tangan hampa.
Keesokan harinya di sekolah, terbesit di pikiran Putri
untuk mencoba melabrak Pipin yang kebetulan satu sekolah dengannya, hanya saja
beda kelas. Putri beserta Lia dan Rizky, mereka bertiga berjalan menuju kelas
Pipin.
Di kelas, Pipin sedang dengan bangganya memamerkan dua
buah kalung kepada teman sebangkunya. Tiba-tiba datanglah Putri, Lia, dan Rizky
ke hadapannya. Segera dimasukkannya kalung itu ke dalam kotak pensilnya.
“Kamu ya yang mencuri kalung mama aku ?!” Hentak Putri
“Enak aja kamu nuduh aku sembarangan ! Memangnya kamu
punya bukti apa ?”
“Sini coba aku lihat kotak pensil kamu. Aku bakal buktikan
kalau kamu pencurinya ! Dasar kamu maling !”
Suasana makin memanas. Berbondong-bondong siswa SD itu
datang ke kelas Pipin hingga kelasnya penuh sesak, bahkan ada yang sampai
mengintip dari luar jendela. Namun Pipin tak bergeming sekalipun.
“Sini kotak pensilnya !” Hardik Putri lagi. Pipin tak
menjawab.
“Pipin Maling ! Teman-teman, lihat, nih, Pipin maling
kalung mama aku.”
“Aku bukan maling !” Kata Pipin sembari memasukkan kotak
pensilnya ke dalam tas dan digendongnya tasnya itu. Ia berlari meninggalkan
kelas, ia berlari pulang.
Putri tak bisa berkutik apa-apa. Geram sekali ia pada
Pipin. Namun dibiarkannya saja ia pergi. Kerumunan tadi pun juga mulai bubar.
Putri lalu keluar dari kelas Pipin. Tiba di luar,
“Ada apa ini, Putri ?” Tanya Pak Nanang, guru Olahraga SD
itu.
“Itu, Pak, Pipin maling kalung mama saya.” Jawab Putri.
“Benarkah?”
“Iya, Pak. Tapi dia tidak mau mengakuinya.”
“Hmm, lain kali jangan begitu lagi, ya.”
“Saya, kan tidak salah, Pak.”
“Tapi, kan . .” Putri tak menghiraukan Pak Nanang, ia
berlalu begitu saja.
Ia menyandankan kepalanya ke meja. Berat pikiran Putri
memikirkan kalung mamanya yang hilang itu. Entah apakah ia akan terus
memikirkan nasib kalung mamanya yang hilang itu. Putri, Putri, sudahlah,
biarlah kedua kalung mamamu itu menjadi kalung yang hilang.
0 komentar:
Posting Komentar